![]() |
Youtube: Kompas TV |
Sebagaimana diketahui Dewi Yull adalah bintang film dan penyanyi senior tanah air. Beliau mempunyai 4 orang anak. Dua diantaranya tuli, yaitu anak pertama bernama Gizca dan anak ketiga bernama Surya. Gizca meninggal dunia saat berusia 28 tahun akibat penyakit meningitis.
Pada acara Kamar Rosi di Kompas TV, Dewi Yull mengisahkan suka-duka dalam membesarkan anak berkebutuhan khusus tuli. Gizca menjadi pengalaman pertama baginya. Doa, kerja keras, dan air mata ibunda akhirnya berhasil mengantar gadis itu menggelar pameran tunggal karya lukisnya di Taman Ismail Marzuki. Dewi Yull sangat bangga dan mulai bernapas lega.
Tak dinyana satu-dua tahun kemudian Surya divonis menderita tuli juga seperti Gizca! Dunia serasa runtuh bagi sang ibu. Sedih campur marah, Dewi bertanya pada Tuhan. Kenapa tidak cukup satu anak tuli yang harus dirawatnya? Kenapa harus dua, Tuhan?
Dalam kondisi bergumul demikian Dewi membaca Alquran dan ketemulah ayat yang berkata, “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan....” Sejak saat itu dia tak pernah bertanya mengapa lagi pada Sang Pencipta. Dewi mengimani dua anak difabelnya merupakan anugerah yang Tuhan karuniakan kepadanya. Tak semua orang mendapat kesempatan dititipi anak, kan? Apalagi yang difabel.
Mutiara dan marjan merupakan kekayaan laut yang sangat bernilai, namun untuk mengambilnya membutuhkan upaya yang keras dan sulit. Kalau berhasil maka dua benda berharga itu bisa dibuat menjadi perhiasan yang indah. Keyakinan itulah yang membuat Dewi dengan tegar membesarkan Gizca dan Surya.
Pada waktu mengalami musibah, yaitu perusahaannya bangkrut, suami menikah dengan perempuan lain, dan Gizca meninggal akibat penyakit kritis, Dewi berserah pada Yang Maha Kuasa. Dia percaya semua itu adalah yang terbaik terjadi pada dirinya.
Benar saja. Hutang-hutang Dewi pelan-pelan terlunasi oleh penghasilannya sebagai penyanyi. Suami yang pergi digantikan dengan jodoh yang menenteramkan hati. Putri semata wayang yang meninggal diganti dengan menantu perempuan yang penyayang. Dewi merasa berkat yang dilimpahkan Tuhan padanya begitu bertubi-tubi. Karenanya dia selalu berkata bahwa Tuhan itu adil!
Mengenai pendidikan Surya, semula dia disekolahkan di PAUD reguler. Namun begitu ibunda mengetahui anaknya ini tuli, langsung dipindahkan ke SLB (Sekolah Luar Biasa). Surya menjalani pendidikan di sekolah itu sampai lulus SMP. Dewi berkata itu adalah pilihan yang tepat, karena di sekolah itu difokuskan pada kemampuan bicara, bakat, dan minat anak.
Surya anak yang rajin. Di SLB dia mengalami akselerasi (percepatan naik kelas) dua kali. Kerajinannya itu membuat ibunda bertanya kepadanya apakah masih mau sekolah lagi selepas SMP. Surya menjawab iya.
Kemudian Dewi mendatangi sekolah reguler di dekat rumah. Dia berkata kepada kepala sekolah bahwa anaknya yang tuli mau melanjutkan pendidikan di sana,. Tak masalah jika Surya harus mengulang jenjang SMP dari awal. Dewi menyadari bahwa level akademik di SLB lebih rendah dibandingkan sekolah reguler.
Syukurlah Surya lulus tes dan masuklah dia di sekolah reguler itu. Anak ini sangat rajin dan meskipun agak ngoyo, berhasillah dia lulus dari SMP tersebut. Kemudian Surya melanjutkan pendidikan di homeschooling Kak Seto sampai lulus SMA.
Nah, selanjutnya Surya mau kuliah di luar negeri. Dewi Yull yang semula merasa keberatan akhirnya luluh juga hatinya melihat kegigihan sang putra mendaftar ke kampus di Amerika Serikat. Surya bahkan mencari-cari beasiswa di berbagai yayasan dan upaya itu akhirnya membuahkan hasil. Dia kemudian menempuh kuliah S1 dan S2 di Rochester Institute of Technology, New York. Biaya kuliah murni diperoleh dari beasiswa, lho. Bahkan Surya lulus S2 dengan kategori outstanding graduate! Jurusan yang diambil adalah Pendidikan Tuli dan Kesulitan Pendengaran.
Kini Surya menjadi dosen di kampus yang ramah disabilitas itu dan melanjutkan pendidikan S3-nya dengan beasiswa pula. Membanggakan sekali, ya.
Berdasarkan pengalamannya menangani Surya, Dewi semakin percaya bahwa orang yang rajin mengalahkan orang pandai. Dia berpesan pada orang tua yang mempunyai anak difabel agar turut belajar, jangan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah ataupun tenaga yang berpengalaman dalam bidang itu. Karena pendidikan dari keluarga itu berperan lebih banyak bagi kemajuan anak.
Dewi sendiri ikutan belajar bahasa isyarat dari Indonesia dan Amerika. Bahasa isyarat dari Indonesia merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda dulu. Adapun bahasa isyarat dari Amerika mempunyai perbedaan dan selalu di-update penggunaannya. Sampai sekarang ibu yang luar biasa ini masih mempelajari bahasa komunikasi bagi kaum tuli tersebut.
Tak jarang Dewi memakai bahasa isyarat ketika bernyanyi di depan umum. Hal itu dilakukannya demi menyenangkan hati Surya sekaligus mensosialisasikan bahasa isyarat bagi kaum non tuli. Ibu yang sudah makan banyak asam garam kehidupan itu juga berpesan agar orang tua tak perlu malu menyekolahkan anak tuli di SLB. Di sana anak akan dibekali kemampuan untuk berbicara dan mandiri. Kalau kemampuan kognitifnya baik, tak menutup kemungkinan bisa melanjutkan pendidikan di sekolah inklusi. Setelah itu jika semakin bagus perkembangannya, bisa jadi diterima di sekolah reguler.
Membesarkan dan memberi pendidikan yang terbaik bagi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Butuh doa, kerja keras, dan air mata. Tapi sebagaimana kata Dewi tadi, mereka adalah mutiara dan marjan yang jika ditangani dengan tepat akan menjadi perhiasan yang sangat indah.
Surya Sahetapy, Putra Ray Sahetapy dan Dewi Yull yang Menjadi Dosen Pendidikan Tuli di AS
Profil Surya Sahetapy, Tunarungu Sejak Kecil, Kini Raih Gelar S2 di Amerika
Komentar
Posting Komentar