Pola Asuh Berdampak Besar terhadap Mental Health Anak hingga Dewasa


Dok. Youtube: Helmy Yahya Bicara, Katatalkinc, Ecommurz
                                                    

Pernah tahu atau kenal dengan orang yang mudah marah akibat hal-hal kecil, suka mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati, tidak terima kalau kalah dari orang lain, berpikiran negatif tentang orang lain, dan sejenisnya yang di zaman sekarang dikenal sebagai sikap dan perilaku toxic? Atau justru diri Anda sendiri yang demikian? Hehehe....

 

Sikap dan perilaku toxic seseorang kerap dikaitkan dengan mental health-nya. Nah, menurut dr. Yuliana, Cht. dari berbagai podcast di Youtube, seperti Helmy Yahya Bicara, Ecommurz, dan Katatalkinc, akar dari segala gangguan mental health itu sebagian besar adalah pola asuh sejak kecil.

 

Pola asuh dengan kekerasan verbal dan fisik membuat anak di masa dewasa berisiko menjadi orang yang gemar berkata-kata kasar, mudah terbawa emosi, dan menyelesaikan banyak hal dengan kekerasan fisik.

 

Pola asuh yang menuntut kesempurnaan anak dan suka membanding-bandingkan dengan orang lain berdampak negatif pada kepercayaan diri anak. Bagi dia apapun yang dilakukan baru bisa dibilang berhasil kalau mendapat pujian atau pengakuan dari orang lain. Bila tidak, dia akan merasa gagal. Selanjutnya orang ini akan bekerja sekeras mungkin demi memuaskan dahaganya akan pengakuan dari orang lain. Akibatnya waktu bersama keluarga berkurang banyak dan dia menghasilkan anak-anak yang kesepian.

 

Anak-anak ini nantinya juga akan berkeluarga, kan? Nah, karena masa kecilnya tak mendapatkan kehangatan kasih sayang dari orang tua, maka di saat dewasa bisa jadi kesulitan mengungkapkan cinta kasih pada pasangan maupun anak-anak. Batere yang kosong tak bisa membuat peralatan elektronik bekerja. Demikian pula halnya dengan batere kasih sayang. Bagaimana mungkin orang yang tak pernah di-charge batere kasih sayangnya mampu mentransfer energi kasih sayang pada orang lain?

 

Dewasa ini dikenal 5 jenis batere kasih sayang, yaitu:

- Words of affirmation: kata-kata afirmasi atau pujian

- Physical touch: sentuhan fisik seperti mencium, memeluk, menggandeng

- Gift: hadiah

- Act of service: tindakan melayani seperti menyiapkan makanan, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya

- Quality time: waktu berkualitas melakukan kegiatan bersama atau sekedar ngobrol, curhat, dan sejenisnya

 

Dr. Yuliana, Cht. yang merupakan dokter umum sekaligus hipnoterapis profesional menyarankan agar kita tidak mencintai seseorang, melainkan buatlah agar orang itu merasa dicintai. Caranya dengan memberi orang itu bahasa kasih sesuai yang dibutuhkannya. Setiap orang kebutuhan bahasa kasihnya berbeda-beda. Oleh karena itu kita harus menyelami bahasa kasih apa yang sebenarnya dibutuhkan orang tersebut.

 

Misalnya seorang ibu menyayangi anaknya dengan cara suka memberi hadiah (gift)  serta menyiapkan semua keperluannya setiap mau pergi seperti baju, sepatu, dan tas (act of service). Padahal bukan itu yang dibutuhkan si anak. Bisa jadi hadiah-hadiah yang diberikan sang ibu tak sesuai seleranya. Dia jadi merasa terpaksa setiap kali memakai hadiah-hadiah tersebut demi tak mengecewakan hati ibu tercinta. Demikian pula si anak bisa merasa terganggu dengan tindakan ibunya yang berlebihan mengatur-atur baju, sepatu, dan tas yang harus dikenakannya setiap kali pergi. Akibatnya anak tidak merasa dicintai, melainkan dituntut untuk menjadi sesuai kehendak ibunya.

 

Susah ya, menjadi orang tua. Betul. Yang sering terjadi adalah orang tua secara tak sadar mempraktikkan pola asuh yang diterimanya dulu waktu kecil. Jadi waktu dia memperoleh luka batin akibat pola asuh orang tuanya, secara tak sadar dia menurunkan luka batin itu pada anak-anaknya juga. Itulah yang kemudian dikenal sebagai luka batin antar generasi.

 

Orang tua yang gemar melakukan KDRT pada anak, tindakan itu akan diulangi si anak pada keturunannya. Ini bisa berlanjut pada generasi-generasi berikutnya. Orang tua yang bercerai bisa menimbulkan luka batin pada anak, yang berlanjut kelak anaknya bisa bercerai juga dan terus menurun pada generasi-generasi berikutnya.

 

Lalu bagaimana cara memutus rantai ini? Segera bereskan luka batin dalam diri. Harus dengan motivasi sendiri, supaya membawa hasil yang signifikan. Caranya dengan mengenali diri seutuhnya, apa yang sebenarnya dipikirkan dan diinginkan. Bisa dituangkan dalam bentuk tulisan setiap hari. Lalu berusaha memahami bahwa pola asuh keliru yang diterima dari orang tua adalah karena memang itu metode terbaik yang diketahui mereka. Bukanlah kesengajaan orang tua menyakiti anak sendiri. Mereka juga membawa trauma warisan dari orang tuanya dulu.

 

Meditasi dan grounding juga menjadi cara jitu untuk menenangkan diri. Grounding merupakan upaya untuk mendekatkan diri dengan alam. Berjalan di atas tanah, rumput, ataupun bebatuan tanpa alas kaki. Menghirup udara segar, memeluk pohon, dan lain sebagainya di alam terbuka membantu menciptakan energi positif dalam diri. Kalau batere energi positif ini sudah ada, jauh lebih mudah menyalurkannya pada orang-orang sekitar.

 

Apabila segala cara telah dilakukan tapi belum berhasil mengikis luka batin, maka bisa mencari bantuan profesional seperti hipnoterapis untuk membereskannya. Metode yang digunakan sangat privat. Pasien dibawa menelusuri akar permasalahan dari luka batinnya, lalu hipnoterapis akan memberi pemahaman dalam bawah sadarnya agar legawa dan berdamai dengan masa lalu. Tentunya hal ini membutuhkan proses yang tidak singkat. Tetapi demi mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, tak ada salahnya dicoba, kan?


Mau Hidup Tenteram? Coba Praktikkan Stoikisme ala Henry Manampiring

Komentar