![]() |
Youtube: Helmy Yahya Bicara, Kompas.com, Katatalkinc |
Pernah
dengar atau bahkan sudah membaca buku Filosofi Teras? Buku ini dirilis tahun
2018 dan hingga sekarang telah dicetak lebih dari 60x. Isinya tentang Stoikisme,
yaitu filosofi Yunani kuno yang berkembang lebih dari 2000 tahun lalu. Pada
masa itu para filsuf Stoik atau Stoa sering berdiskusi di teras berpilar. Oleh
sebab itu Henry memberi judul bukunya Filosofi Teras.
Buku
ini merupakan yang pertama kali di Indonesia membahas tentang Stoikisme. Banyak
pembaca yang terbantu hidupnya setelah membaca buku Filosofi Teras. Henry
sering diundang ke berbagai podcast, antara
lain Helmy Yahya Bicara, Katatalkinc, dan Kompas.com, untuk membagikan
pemikiran dan pengalamannya tentang Stoikisme.
Menurut
Henry, ada dua poin utama dalam Stoikisme, yaitu:
1.
Menjaga Nalar
2.
Dikotomi Kendali
Menjaga Nalar
Stoikisme
percaya bahwa yang paling membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya
adalah nalar. Bahkan ada pepatah Yunani kuno yang menyatakan bahwa Zeus (dewa
tertinggi pada zaman itu) pun tak sanggup mengambil nalar manusia. Kondisi
nalar mempengaruhi mental manusia. Kondisi mental berdampak pada sikap yang
menimbulkan perilaku. Perilaku inilah yang menentukan nasib manusia. Wow!
Di
era digitalisasi sekarang ini filosofi Stoikisme sangat berguna untuk memfilter
informasi apa saja yang ‘layak’ diinput dalam otak, sehingga kita tak
membuang-buang waktu memikirkan hal-hal yang tak berguna. Membanjirnya
informasi sampah di media sosial bisa diatasi dengan metode ini sehingga nalar kita
tetap sehat, mental stabil, sikap dan perilaku positif, sehingga berujung pada
nasib yang baik.
Stoikisme
percaya bahwa nasib manusia itu berdasarkan apa yang telah dilakukannya secara ‘konsisten’.
Filosofi ini sangat menghargai proses yang dijalani manusia, bukan apa yang berhasil diraih.
Dikotomi
Kendali
Segala sesuatu di dunia ini mengandung dikotomi kendali, yaitu:
-
Kondisi yang berada di ‘dalam’ kendali manusia
-
Kondisi yang berada di ‘luar’ kendali manusia
Misalnya
seorang anak akan mengikuti ujian di sekolah. Dia melakukan sesuatu yang berada
di ‘dalam’ kendalinya, yaitu belajar sebaik mungkin. Nah, lulus tidaknya ujian
itu berada di ‘luar’ kendali anak tersebut. Kalaupun tidak lulus atau lulus
dengan nilai minim, ya sudah, tidak perlu merasa kecewa karena hal itu di luar
kendali diri sendiri. Istilah bahasa Inggrisnya: let us do the best and God do the rest, sedangkan bahasa
Indonesia-nya: ikhlas. Hehehe....
Analogi
lainnya adalah bagaikan busur dan anak panah. Menarik busur sejauh dan secermat
mungkin berada ‘dalam’ kendali manusia. Perkara anak panah menancap tepat atau
tidak pada sasaran itu sudah berada di ‘luar’ kendalinya. Bisa jadi tiba-tiba
ada angin yang membelokkan anak panah tersebut sehingga menyimpang dari target
yang dituju.
Menurut
Stoikisme amarah manusia itu bukan diakibatkan oleh suatu keadaan, melainkan
respon manusianya sendiri terhadap keadaan tersebut. Manusia kecewa karena
keadaan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Padahal keadaan itu di ‘luar’
kendalinya.
Contoh
lainnya orang yang terperangkap dalam kemacetan lalu lintas. Kalau dia memang
berangkatnya tadi terlambat, berarti itu kesalahannya sendiri. Tapi kalau dia
berangkat lebih awal dan kena macet, berarti memang dia sudah berupaya yang
terbaik tetapi terjadi kemacetan yang di ‘luar’ kendalinya. So, tak perlu merasa kesal. Ingat,
jagalah nalar karena akan berpengaruh terhadap nasib.
Tak
sedikit muncul pendapat negatif tentang Stoikisme. Dianggap memicu apatisme,
tidak inisiatif, sikap malas, dan sebagainya. Hal ini perlu diluruskan.
Stoikisme memang mengajarkan manusia untuk pasrah, tetapi ini hanya berlaku
untuk hal-hal yang berada di ’luar’ kendalinya. Untuk hal-hal yang berada di ‘dalam’
kendali manusia, Stoikisme justru mengajarkan untuk melakukan upaya sebaik
mungkin. Karena sebagaimana yang dijelaskan tadi, filosofi ini menghargai ‘proses’
yang dilalui, bukan hasil. Hal ini sesuai dengan kutipan menarik dari Henry
Manampiring:
“Manusia tidak memiliki kuasa untuk
memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini
apa yang dia belum miliki dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.”
Pola Asuh Berdampak Besar terhadap Mental Health Anak hingga Dewasa
Komentar
Posting Komentar